Selasa, 12 Oktober 2010

Menabur Kasih Menuai Berkat

MENABUR KASIH MENUAI BERKAT


Saya (HS) sering pergi ke Gunung Kawi untuk mencari "keselamatan"
bagi seluruh keluarga besar kami. Sekalipun ketika kecil saya pernah
mengikuti ibadah di gereja di daerah kadipaten bahkan pernah ikut
memainkan sandiwara yang bernapaskan Kristen, namun saya tidak
pernah memimpikan atau membayangkan untuk menjadi seorang Kristen
atau pengikut Yesus. Pada 20 April 1977, saat saya sedang bekerja
pada salah satu bank di Bandung, saya bertemu dengan seorang gadis,
nasabah saya. Setelah berkenalan, kemudian pada tanggal 10 Oktober
1977 saya melamarnya. Karena neneknya adalah seorang Kristen yang
sangat taat, maka ia menghendaki supaya kami menikah di gereja.
Tanggal 26 Februari 1978, demi cinta saya kepadanya, saya rela
pernikahan kami diteguhkan di gereja, kemudian ketika istri saya
sedang mengandung anak kami yang pertama barulah kami menikah resmi
di catatan sipil.

Sekalipun saya sering menemani istri pergi ke gereja, tetapi hal itu
hanyalah sekadar formalitas saja. Di balik itu, saya masih menjalani
kehidupan malam yang penuh dengan judi dan pesta pora. Beberapa
tahun kemudian. Setelah kami dikaruniai 2 orang anak yang lucu-lucu,
mereka selalu kami bawa untuk beribadah ke gereja. Ketika anak saya
yang pertama, Christina, berumur 4 tahun, ia pernah memohon kepada
gurunya agar ikut mendoakan supaya ayahnya menerima Tuhan Yesus.
Pada bulan Oktober 1990, seorang teman baik saya, Bapak Gunawan,
memaksa saya mengikuti sebuah retreat bagi pasangan suami istri yang
telah menikah 5 tahun atau lebih (Marriage Encounter). Meskipun pada
mulanya saya tidak bersedia ikut acara itu, namun setelah beberapa
hari mengikuti acara tersebut, saya dan istri dibimbing dan
diajarkan bagaimana menjalin hubungan yang harmonis antara suami dan
istri, hubungan antara orang tua dengan anak-anak, cara
bermasyarakat, cara menghadapi para pembantu, mertua, dan yang
terakhir kami juga diajarkan bagaimana cara berhubungan dengan
Tuhan. Seorang pembimbing kami menyebutkan bahwa suami adalah kepala
keluarga; dialah orang yang paling bertanggung jawab kepada Tuhan
atas seluruh keluarganya. Bahkan jika seorang suami marah kepada
istrinya tidak boleh dengan mulut tetapi harus dengan surat cinta.

Pada saat pelajaran itu sedang berlangsung, isinya seakan-akan telah
menuding hati saya dengan mengatakan bahwa selama ini diri saya
adalah suami dan ayah yang tidak pernah bertanggung jawab. Pada
kenyataannya, seluruh kriteria yang disebutkan dalam makalah
tersebut tidak ada pada diri saya. Selain saya adalah seorang suami
dan ayah yang sangat egois, hidup saya juga jauh dari jalan
kebenaran dan tidak pernah memercayai adanya Tuhan. Dengan disertai
linangan air mata, saya langsung menyerahkan hidup saya kepada Tuhan
dan berjanji untuk berubah menjadi suami dan ayah yang baik.
Keesokan harinya sepulang dari retreat itu, untuk pertama kalinya
saya bergabung dalam gereja anak saya. Guru sekolah minggu anak saya
menyambut dengan gembira dan mengatakan bahwa doa mereka telah
dikabulkan oleh Tuhan. Pada tanggal 31 Desember 1990, saya
menyerahkan diri untuk menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru
Selamat. Kemudian saya dibaptis.

Sejak saat itu, usaha yang kami rintis di saat pernikahan kami,
yaitu distribusi furnitur untuk seluruh Jawa Barat, asuransi
kerugian, dan biro travel, berjalan dan berkembang dengan sangat
pesat. Keadaan itu telah membuat saya menjadi seorang pengusaha yang
diperhitungkan di kota Bandung. Teman-teman saya mulai menitipkan
uang dengan jumlah yang sangat besar kepada saya, dan dikembalikan
dengan bunga. Sebaliknya, saya memberikan pertolongan kepada teman
lain dengan meminjamkan uang itu tanpa bunga sedikit pun. Mereka
mengatakan bahwa perbuatan saya adalah sangat baik. Pada saat diri
saya mulai dipuji dan disanjung, saya pun mulai menjadi sombong
sehingga lupa diri dan melupakan Tuhan, bahkan tidak menyadari bahwa
ternyata hal-hal yang saya lakukan adalah sebuah kebodohan saya
sendiri.

Tahun 1993, orang-orang yang menitipkan uang kepada saya bertambah
banyak. Sungguh di luar dugaan. Jumlah dana yang dipinjamkan kepada
saya ternyata sudah mencapai angka sekitar dua miliar rupiah.
Sebaliknya, ketika orang-orang mulai datang mengambil dana-dana yang
sudah jatuh tempo itu, saya tidak dapat membayar pinjaman-pinjaman
itu berikut bunganya. Saya dan istri mulai memberanikan diri untuk
membuka pembukuan kami kepada seluruh rekan-rekan saya. Setelah kami
diaudit, ternyata jumlah hutang lebih banyak dari piutang yang ada
di seluruh perusahaan kami. Bahkan seluruh aset tidak akan cukup
untuk membayar seluruh hutang-hutang itu. Setelah saya menjual
seluruh aset perusahaan dan pribadi, termasuk rumah dan mobil,
ternyata hasilnya masih belum cukup untuk membayar hutang-hutang
itu. Saya mengatakan kepada mereka bahwa saya tidak sanggup lagi
membayar seluruh dana pinjaman tersebut hingga mereka marah dan
mengirim tukang pukul untuk menagih kepada kami. Ketika saya
mengalami intimidasi yang begitu dalam saya merasa bahwa semuanya
sudah gelap. Saya merasa seolah-olah ada bisikan yang mengatakan
bahwa hidup saya sudah tidak berharga lagi, saya sudah bangkrut dan
tidak memunyai apa-apa lagi.

Pada suatu ketika sekitar tengah malam, malam itu menjadi suatu
malam yang teramat panjang dalam hidup saya, tanpa sepengetahuan
istri dan anak-anak saya, tanpa membawa dompet dan benda apa pun,
dengan hanya mengenakan sandal jepit, saya berangkat dengan berjalan
kaki dari rumah yang saat itu berada di jalan Budi Sari menyusuri
sepanjang jalan Gatot Subroto Bandung untuk melaksanakan niat bunuh
diri dengan menabrakkan diri ke kendaraan yang sedang melintas di
malam yang gelap.

Pukul 2 pagi, saat saya sedang menunggu kendaraan yang tepat untuk
saya menabrakkan diri, entah ada kekuatan dari mana datangnya yang
mendorong saya untuk memasuki sebuah gedung gereja. Setelah saya
berada di dalamnya, saya mulai tertegun dan sadar bahwa apa yang
saya perbuat adalah salah. Beberapa saat lamanya saya
berguling-guling di dalam gereja, saya sangat menyesali keputusan
jalan pintas yang saya ambil itu. Dengan tulus hati, saya minta
ampun kepada Tuhan, dan memohon agar Tuhan memberikan kekuatan
sehingga saya sanggup memikul persoalan itu dan menghadapinya dengan
iman yang teguh. Setelah lelah berguling akhirnya saya tertidur
dengan pulas dalam gedung gereja. Baru sekitar pukul 4 pagi, ketika
angin menghembusi tubuh saya, saya terbangun dan kembali ke rumah
untuk bertemu dengan istri dan anak-anak tercinta. Sesampainya di
rumah, istri dan anak saya ternyata sedang berdoa menanti kehadiran
saya, dan saya kembali tertidur namun kali ini dengan perasaan yang
amat tenang.

Sejak hari itu, saya dan keluarga sungguh-sungguh mencari Tuhan
dengan berdoa dan berpuasa. Walaupun ada kesempatan bagi kami untuk
melarikan diri tetapi kami memutuskan untuk tetap bertahan, meskipun
kami bisa memakai jasa pengacara, tetapi saya tetap konsekuen untuk
membayarnya. Tuhan itu sangat baik terhadap kami sekeluarga.
Sekalipun kami harus menjual seluruh harta yang kami miliki, namun
Tuhan juga mengirim kawan-kawan saya untuk menolong kami terlepas
dari hutang-hutang tersebut.

Tahun 1996, kami menempati sebuah rumah kontrakan dalam keadaan
finansial yang masih belum stabil dan masih ada beberapa cicilan
hutang yang belum beres. Pada saat itu salah seorang saudara dari
istri saya mengundang keluarga kami untuk mengunjungi Australia.
Sebenarnya hati kecil saya mengatakan bahwa daripada mengeluarkan
uang yang banyak untuk biaya perjalanan, lebih baik dana tersebut
dikirim saja kepada kami untuk membayar hutang-hutang saya, namun
akhirnya kami memutuskan untuk berangkat. Pada saat kami berada di
Australia, ternyata bukan saja Tuhan yang ajaib itu menolong kami
untuk pergi berlibur sekalipun masih dalam keadaan susah, tetapi
saat itu adalah saat-saat yang paling membahagiakan hidup kami
sekeluarga. Saudara yang baik hati itu pun menawarkan diri untuk
membiayai kuliah anak kami di Australia.

Tahun 1998, masih dalam keadaan ekonomi yang belum stabil, seorang
ibu menceritakan kepada saya bahwa ada seorang anak yang dibuang dan
dimasukkan ke dalam sebuah kardus mi instan kemudian diletakkan
begitu saja di tepi jalan. Ia bercerita lagi bahwa anak yang berumur
sekitar dua setengah tahun itu matanya buta. Keberadaan anak itu
sudah diumumkan di radio dan diberitakan di koran Pikiran Rakyat
Bandung namun tidak ada seorang pun yang mau mengakuinya sebagai
anak. Sebenarnya pada saat itu tidak terpikir bagi saya untuk
memungut anak itu; jangankan mengurus orang lain, untuk membiayai
keluarga saya sendiri saja saya masih sangat berkekurangan. Tetapi
karena kami sekeluarga telah merasakan jamahan kasih yang luar biasa
dari Tuhan, maka Tuhan memberikan kami hati yang teguh untuk
menyalurkan kasih itu kepada orang lain. Seminggu setelah ibu
tersebut menghubungi kami untuk pertama kalinya, ia kembali
menghubungi saya dan mengatakan bahwa sampai hari itu tidak seorang
pun yang mau memungut anak yang dititipkan di salah satu masjid di
Bandung itu. Ibu itu lebih jauh menyarankan kepada saya agar saya
mau melihatnya terlebih dulu.

Ketika saya dan istri datang menengok anak itu, bukanlah maksud saya
untuk merendahkan martabat seorang ciptaan Tuhan, tetapi anak itu
persis seperti seekor anak monyet. Selain ukuran kepalanya yang
besar dan kedua kakinya yang lumpuh, kedua matanya pun buta, bahkan
dari dalam lobang hidungnya keluar daging tumbuh. Saat itu, kulitnya
kasar dan sangat buruk karena tidak mandi selama berbulan-bulan,
bahkan duduk saja tidak bisa apalagi untuk berjalan. Pada saat saya
memberanikan diri untuk menggendong anak itu, tiba-tiba ia mencium
leher saya. Dalam keraguan, saya berkata kepada istri saya bahwa
seandainya anak itu normal, saya pasti sudah mengadopsinya saat itu
juga. Tiba-tiba istri saya mengatakan sebuah kalimat yang
mengejutkan hati saya. Ia berkata, jika kami ingin menolong
seseorang, maka tidak boleh ada perkataan "Tetapi". Saat itu saya
menceritakan peristiwa itu kepada anak saya di Australia. Seminggu
kemudian Christina, putri saya, menelepon untuk menanyakan apakah
anak itu sudah diambil. Lalu saya mengatakan bahwa anak itu pastilah
akan menyusahkan kita, jadi tidak perlu dipikirkan lagi. Tetapi kali
ini giliran putri saya yang mengatakan sebuah perkataan yang sungguh
membuat hati saya terkejut. Dia mengatakan jika kami mengambil
seorang anak yang normal, itu adalah hal yang biasa, tetapi jika
kami berani mengambil anak yang cacat, maka itu adalah sesuatu yang
sangat luar biasa di mata Tuhan. Siapa menaruh belas kasihan kepada
orang yang lemah, maka dia memiutangi Tuhan.

Sementara itu anak lelaki kami, Yogieh, yang baru duduk di kelas dua
SMA, sekalipun ia belum melihat anak buangan itu, namun ia merengek
dan meminta kepada saya supaya anak itu boleh tinggal selama
seminggu di rumah kami. Meski sebenarnya hati saya menolak, tetapi
pada tanggal 31 Juli, dengan perlahan ia mengatakan kepada saya
apabila hati saya merasa damai, saya boleh mengambil anak itu,
tetapi jika hati tidak merasa damai, maka jangan mengambil anak itu.
Keesokan harinya, dengan hati yang diliputi damai sejahtera yang
luar biasa, sesuai dengan permintaan anak saya, kami setuju untuk
membawa anak itu untuk sementara, dengan catatan, apabila ia dapat
dirawat, maka kami akan meneruskan merawatnya, tetapi jika tidak,
anak itu akan dipulangkan kembali. Ternyata, ketika anak yang buta
itu berada di rumah kami, anak saya segera menatapnya sambil
menangis. Pikiran saya mengatakan bahwa pastilah hati anak saya
sangat kecewa dan dalam hatinya pastilah menyalahkan saya sebagai
ayahnya yang membawa anak semacam itu ke rumah kami. Ketika saya
bertanya mengapa ia menangis, ia berkata bahwa ia bersyukur anak itu
telah kami ambil, sebab sudah lebih dari 2 tahun tidak ada orang
yang mau menghiraukannya. Pernyataan itu adalah sebuah konfirmasi
yang membuat hati saya sangat bersukacita.

Ketika anak itu berada di rumah kami, teman-teman mulai mencibir
kami. Mereka mengatakan bahwa kami adalah orang yang tidak memunyai
akal sehat. Mereka juga menambahkan bahwa bagaimana mungkin kami
bisa mengatasi persoalan anak yang hampir mati itu, sedangkan
keadaan ekonomi kami masih morat-marit. Dua minggu kemudian,
sekalipun saya menyadari bahwa saya tidak tahu apa yang harus saya
perbuat dengan kondisi anak itu, namun setelah kami berusaha
memberikan yang terbaik dan dengan sungguh-sungguh mengasihi anak
itu seperti mengasihi anak sendiri, Tuhan menolong kami. Teman-teman
yang pernah melecehkan saya diubah Tuhan sehingga mau membantu kami
merawat anak itu. Ada teman-teman yang lain yang mengirim susu
hingga berlimpah-limpah. Saya sangat percaya bahwa Tuhan akan
menjadikan anak itu bukan menjadi seorang peminta-minta tetapi
menjadi alat-Nya bagi orang lain, dan Tuhan tidak akan membuatnya
menjadi tukang pijit, tetapi menjadi seorang pemain piano.

Ketika anak itu berada di rumah kami, saya hanya bisa merawatnya
dengan kasih dari Tuhan. Empat bulan kemudian, ketika ia belum dapat
buang air dengan normal, saya membawanya ke sebuah KKR. Setelah
kami mendoakannya sambil menumpangkan tangan di atas perutnya, Tuhan
menjamah perutnya sehingga langsung buang air besar dengan lancar.
Sejak saat itu tidak ada lagi gangguan di dalam pencernaannya.
Bertahun-tahun anak itu kami bawa ke dokter spesialis kelumpuhan
namun tidak kunjung sembuh. Tetapi setelah kami doakan selam beberapa
waktu kini ia sembuh dan sudah dapat berjalan dengan normal.
Sekarang anak itu sudah bersekolah di SLB C Wiyata Guna Bandung.

Bertahun-tahun saya sudah diproses oleh Tuhan. Secara manusiawi
semua proses itu memang menyesakkan, bahkan sering kali saya merasa
tidak sanggup menyelesaikannya dengan baik, namun Tuhan hanya
menginginkan saya mengandalkan Dia dalam segala hal dan bukan
mengandalkan kekuatan saya sendiri. Benih-benih kasih yang pernah
kami tanam beberapa waktu lalu sekarang telah kami tuai dengan
berbagai berkat dari Tuhan. Sejak bulan Oktober 2003 yang lalu,
Tuhan telah memulihkan keadaan ekonomi keluarga kami, bahkan saat
ini kami dibebaskan dari hutang. Terpujilah Tuhan!

Diambil dari:
Judul buletin: SUARA, Edisi 73, Tahun 2004
Penulis: KM
Penerbit: Yayasan Persekutuan Usahawan Injili Sepenuhnya
Internasional (PUISI), Jakarta
Halaman: 3 -- 8
______________________________________________________________________

Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya.
Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihat-Nya.
Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak
terkatakan, karena kamu telah mencapai tujuan imanmu, yaitu
keselamatan jiwamu. (1 Petrus 1:8-9)
< http://alkitab.sabda.org/?1Petrus+1:8-9 >

Tidak ada komentar:

Posting Komentar