Rabu, 20 Oktober 2010

good story

Oncea upon a time ( Suatu ketika ),

hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki
yang
senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari.

Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan
buahnya,tidur-tiduran
di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai
pohon
apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.

Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan
tidak
lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya.

Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih. "Ayo ke
sini
bermain-main lagi denganku," pinta pohon apel itu. "Aku bukan anak
kecil
yang bermain-main dengan pohon lagi." jawab anak lelaki itu.

"Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang
untuk
membelinya."

Pohon apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak punya uang... tetapi
kau
boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa
mendapatkan
uang untuk membeli mainan kegemaranmu."

Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang
ada di
pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki
tak
pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.

Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat
senang
melihatnya datang.

"Ayo bermain-main denganku lagi." kata pohon apel.
"Aku tak punya waktu," jawab anak lelaki itu.

"Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk
tempat
tinggal. Maukah kau menolongku?"

"Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua
dahan
rantingku untuk membangun rumahmu." kata pohon apel.

Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel
itu
dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat
anak
lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah
kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.

Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel
merasa
sangat bersuka cita menyambutnya.

"Ayo bermain-main lagi denganku." kata pohon apel.

"Aku sedih," kata anak lelaki itu. "Aku sudah tua dan ingin hidup
tenang.
Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah
kapal
untuk pesiar?"

"Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku
dan
menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau.

Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah. Kemudian, anak lelaki
itu
memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang
diidamkannya. Ia
lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.

Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian.

"Maaf anakku," kata pohon apel itu.

"Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu."

"Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah
apelmu."

Jawab anak lelaki itu. "Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang
bisa
kau panjat." Kata pohon apel.
"Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu." Jawab anak lelaki itu.

"Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan
padamu.

Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini."
Kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.

"Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang." Kata anak lelaki.

"Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah
setelah
sekian lama meninggalkanmu."

"Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah
tempat
terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah
berbaring di
pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang."

Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon. Pohon apel itu
sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.

Ini adalah cerita tentang kita semua. Pohon apel itu adalah orang tua
kita. Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu
kita.

Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya
datang
ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak peduli apa
pun,
orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang
bisa
mereka berikan untuk membuat kita bahagia. Anda mungkin berpikir
bahwa
anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu,
tetapi
begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.


Banyak hal yang kita lewati terkadang mengubur Kebaikan orang-oarang terdekat kita.
Ada kalimat dari seorang cendikiawan asal Negri Kincir Angin...

Semakin Sering Kita mengenal Orang baru
Maka semakin serin kita kehilangngan orang lama

Begitu Pula
Semakin Sering Kita melihan keburukan orang
Maka akan semakin sering kita mengbur kebaikannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar