Senin, 26 Juli 2010

MENJAJAKAN KEBENARAN
oleh: Pdt. Bigman Sirait

BAIT Suci disucikan? Sebuah pertanyaan sederhana yang sungguh tidak
sederhana. Sederhana, jika itu adalah ritual penyucian, seperti didoakan,
atau lainnya. Namun menjadi tidak sederhana, jika itu menyangkut kualitas,
spritualitas, sehingga Bait Suci perlu disucikan. Apalagi jika Yesus, Anak
Allah, Sang Suci, yang melakukannya. Bukankah Bait Suci itu tempat suci yang
seharusnya tak perlu disucikan? Namun itulah kenyataannya, Bait Suci,
disucikan. Dalam catatan Alkitab peristiwa itu jelas sekali. Keempat Injil
mencatatnya (Yoh 2:13-25; Mat 21:12-17; Mrk 11:15-19; Luk 19:45-48).

Bait Suci, tempat beribadah itu ternyata telah hiruk-pikuk dengan aneka
kegiatan dagang. Di sana ada pedagang merpati, domba, kambing, bahkan lembu.
Wow, betapa luasnya area yang mereka gunakan. Belum lagi bau yang
ditimbulkan, pasti sangat mengganggu, terutama ketika angin bertiup. Di
sebelah lain, tak kalah sibuknya adalah para penukar uang. Mereka bagaikan
money changer di era modern yang siap menanti pembeli, khususnya yang datang
dari kota lain untuk beribadah (orang Yahudi perantauan, atau yang lainnya).

Apa yang salah di sana? Praktek dagangnya atau yang lainnya? Yang pasti,
kritik Yesus dalam Matius 21:13, "Rumah-Ku akan disebut rumah doa, tetapi
kamu menjadikannya sarang penyamun". Siapa yang menyamun alias merampok?
Dalam prakteknya, ada berbagai informasi. Para pedagang binatang kurban,
yang dagangannya dibutuhkan oleh umat, ternyata mencantumkan harga yang
lebih tinggi dari harga pasar. Mark up, istilah kerennya. Mengapa umat tak
membeli di pasar? Sulit, karena bisa dipersulit oleh penilai, alias quality
control, yang sering kali tidak meluluskan binatang yang dibawa sebagai
kurban yang layak.

Ada ketentuan tentang kurban yang diatur dalam kitab Imamat. Nah, di sinilah
para penilai bermain mata dengan pedagang di halaman Bait Suci. Karena
seluruh kurban yang dibeli dari pedagang di Bait Suci pasti lolos dan
dianggap layak.. Sementara yang dibeli di pasar sering kali ditolak. Namun
ada konsekuensinya, yakni umat harus membayar lebih mahal jika membeli di
halaman Bait Suci. Terjadilah kolusi antara pedagang dengan para imam dan
petugasnya. Harga lebih mahal, memang mempermudah pembelian dan kelayakan
kurban, tapi, juga memeras umat yang berada pada posisi lemah.

Hal seperti ini sudah terjadi sejak dulu kala. Amos berteriak atas
kecurangan para imam yang seharusnya menjadi penggembala domba, bukan
pemerah domba. Begitu juga di bisnis money changer, kurs yang diberlakukan
selalu merugikan umat. Dan, lagi-lagi menguntungkan pedagang dan juga imam.
Kebanyakan imam sangat bergairah ke Bait Suci, bukan untuk pelayanan
melainkan pemerasan, bukan juga untuk mencari kekudusan tapi kolusi dengan
pedagang. Dengan topeng pelayanan, mereka meraup keuntungan. Aroma transaksi
dagang di Bait Suci jauh lebih kental dibanding ibadah suci yang
menyenangkan hati Tuhan. Jadi, tidaklah mengherankan jika Yesus bertindak
radikal, dengan menjungkirbalikkan meja dan bangku para pedagang. Tentu saja
ini sangat menjengkelkan para imam dan pedagang. Jadi, tidaklah juga
mengherankan jika mereka sangat berambisi untuk menghabisi Yesus. Walaupun
kebanyakan umat merasa terbela, namun, tidak serta-merta mereka menjadi
pengikut Yesus yang setia. Karena tak sedikit pula umat yang oportunis.

Ya, Yesus telah mengganggu arus pundi-pundi para imam dan pedagang, yaitu
uang haram yang selama ini lancar dan "suci", karena "disucikan" lewat
pelayanan berkedok. Imam yang tak "beriman" melainkan mata duitan, pelayan
yang tak "melayani" melainkan membebani, gembala yang tak "menjaga"
melainkan memerah, pemimpin yang tak "memimpin" melainkan mempermainkan.
Ibadah menjadi penuh kepalsuan. Asal membayar lebih, asal mengikuti
ketentuan yang dibuat para imam, pengampunan dosa diperjualbelikan. Dan,
celakanya, ternyata umat bisa jadi pembeli yang tak selektif. Mungkin merasa
sama-sama diuntungkan. Yang satu untung uang, yang lain untung pengakuan,
dan tak dikucilkan, belum lagi bisa lolos dari hukuman dosa (hukuman fisik).

Jadi, tidaklah mengherankan jika praktek seperti ini berjalan cukup lancar.
Dan, posisi Yesus terasa sulit, berhadapan dengan para imam atas nama agama,
pedagang atas nama usaha, dan umat atas nama rakyat banyak. Apalagi jika
banyak diidentikkan dengan kebenaran, maka Yesus adalah pesakitan. Ngerinya,
sosok kepalsuan yang bisa memutarbalikkan fakta, menjadi lebih mengerikan
lagi karena hal ini sering sukses. Lihat saja, "sukses besar" mereka
menyalibkan Yesus Kristus dengan mempengaruhi orang banyak, membayar Yudas
dengan 30 keping perak, bahkan menekan Pilatus memenuhi "order hukuman".

Ya, uang yang terkumpul dari transaksi jual-beli ibadah ternyata tidak
kecil, bahkan sangat besar, bisa membiayai sebuah gerakan besar. Hebat
sekali! Apakah Allah sudah tak berdaya membongkar semuanya? Apalagi yang
menjadi korban adalah Yesus? Jelas tidak! Bahkan sebaliknya, Allah menghukum
dengan membiarkan mereka hangus oleh "kesuksesan dosanya" (bdk. 2Ptr
2:4-16). Jadi, jangan heran jika melihat banyak kelicikan, kepalsuan meraih
kesuksesan besar. Alkitab sudah menjelaskan, pada akhir jaman, guru-guru,
nabi-nabi palsu, akan sukses merekrut pengikutnya dalam jumlah banyak.
Bukankah banyak yang dipanggil, namun hanya sedikit yang terpilih?

Realita Bait Suci yang harus disucikan karena telah menjadi tempat bisnis
ternyata tak berhenti. Situasi tetap berlanjut hingga kini. Banyak isu sinis
tentang gereja berbisnis, gembala berbisnis. Banyak pelayanan khotbah yang
juga dibisniskan. Serba uang, serba tarif, serba fasilitas, dan, ah, panjang
sekali daftarnya. Semuanya disembunyikan dalam kata berkat Allah yang
melimpah.. Apa pun yang serba mewah, dari rumah, mobil hingga penampilan
mewah, itu adalah simbol hamba Allah yang sukses. Buah tak lagi
diperhatikan, melainkan popularitas. Perbuatan tak lagi diperhitungkan
melainkan retorika belaka, sekalipun Yesus sendiri berkata, "Pohon dikenal
dari buahnya" (Mat 7:15-20).

Mengapa? Rupanya situasi yang sama berulang kembali, pengkhotbah maupun
pendengar sama-sama "diuntungkan". Pengkhotbah mengkhotbahkan yang ingin
didengar umat (uang, sukses, kesembuhan, kelancaran hidup, dll), tanpa
menyinggung apalagi membongkar dosa. Umat tak perlu merasa "tertampar", asal
berani "membayar". Bayaran yang berkedok persembahan untuk Allah, ternyata
tak pernah sampai "ke surga", melainkan berhenti dan menjadi keuntungan
pengelola yang sekaligus pemilik. Gereja yang seharusnya menjadi aliran
berkat, diberkati untuk memberkati, ternyata menjadi putaran berkat,
berputar di tempat yang sama, dan tak pernah mengubah lingkungan, apalagi
dalam konteks kebangsaan.

Di Amerika, majalah Economic yang terkenal, bahkan memuat gurita bisnis
gereja, termasuk peredaran uang yang ternyata mencengangkan. Menjajakan
kebenaran ternyata memang sangat mengguntungkan, dulu, sekarang, bahkan
hingga Yesus datang kembali. Sangat potensial untuk meraup sukses materi.
Namun, ingatlah, Yesus akan menjungkirbalikkan semuanya, di sana di kekalan.
Awas, jangan sampai hangus oleh kesusksesan dosa menjajakan kebenaran. Umat
harus berani belajar menjadi pelaku kebenaran yang sejati. Ya, semoga bukan
pula sekadar cita-cita.

Sumber: http://www.reformata.com/02687-menjajakan-kebenaran.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar