Jumat, 02 Desember 2011

Proses Kreatif Menulis Renungan

PROSES KREATIF MENULIS RENUNGAN HARIAN

Dalam pengantar untuk buku "Menjadi Penulis", Andar Ismail menegaskan pentingnya isi tulisan. Ia mengatakan, "Menulis bukanlah sekadar merangkaikan kata, melainkan menuliskan hikmat yang mencerahkan dan menumbuhkan pembaca. Sepandai-pandainya kita menuangkan, yang lebih menentukan adalah apa yang dituangkan. Apa gunanya menuang sebuah botol, bila isinya adalah air keruh? Atau apa yang mau dituang dari sebuah botol, bila botol itu masih kosong."

Pengakuan pemazmur menunjukkan proses serupa. Mazmur-mazmurnya tertuang dari perkara-perkara yang memenuhi hatinya. Frasa "kata-kata indah" (Mazmur 45:2), menurut konkordansi Strong, mengacu pada perkara-perkara yang baik, mulia, luhur, dan benar. Ketika hal Itu meluap-luap memenuhi hatinya, ia pun tergerak untuk menggubah sajak. Ia menulis tentang sosok yang sungguh-sungguh luhur dan mulia: Nubuatan tentang Raja yang akan datang, Tuhan Yesus Kristus, dan jemaat-Nya yang berkemenangan.

Dalam artikel "Gereja yang Membaca dan Menulis", Andar Ismail menyoroti pentingnya ketepatan dalam menulis khotbah. Ia menulis, "Berkhotbah adalah memberitakan kebenaran firman Allah secara cermat dan tepat. Syarat menulis khotbah adalah kecermatan dan ketepatan." Rasul Timotius dipesan, "Usahakanlah supaya engkau layak di hadapan Allah sebagai seorang pekerja yang tidak usah malu, yang berterus terang memberitakan perkataan kebenaran itu." (2 Timotius 2:15) Dalam Alkitab bahasa aslinya, yang ditekankan bukanlah berterus terang, melainkan cermat dan tepat. Istilah bahasa aslinya adalah "orthotomounta", artinya membelah secara tepat. Kata itu merupakan metafora tentang tukang batu yang membelah batu sedemikian rupa, sehingga belahan itu bisa dipasang pada celah bangunan secara pas. Menulis khotbah bukan hanya merangkai kata, melainkan menalarkan konsep secara cermat dan tepat. Untuk itu, dibutuhkan kemauan membaca dan kemauan menulis. Meskipun konteks kutipan ini adalah penulisan khotbah, namun prinsipnya dapat kita terapkan pada aktivitas menulis renungan.

Penulisan renungan idealnya seperti itu. Berangkat dari perjumpaan dengan Tuhan dan firman-Nya. Memadukan perenungan pribadi dan pengamatan atas kondisi seputar. Membagikan kebaikan, kebenaran, keadilan, dan hikmat Tuhan untuk menggugah pembaca. Mengajak pembaca mengembangkan hubungan yang lebih akrab dengan Tuhan. Mengundang pembaca untuk bersama-sama menjadi pelaku firman.

Selebihnya, proses penulisan renungan tidak banyak berbeda dengan penulisan karya tulis kreatif lainnya. Persoalan menangkap dan memilah ide, kemudian menuangkannya ke dalam format renungan melalui pemilihan kata dan frasa yang tepat, kalimat yang efektif, dan rangkaian alinea yang mengalir.

Tantangan Menulis Renungan

Dalam menulis renungan, tantangan saya ialah mendapatkan ide dan menuangkannya menjadi tulisan pendek. Ada kalanya ide itu berupa kisah inspirasi yang agak panjang, dan tinggal saya bubuhi dua-tiga kalimat perenungan di ujungnya, tanpa betul-betul membahas perikop dan ayat emas yang saya cantumkan. Asalkan bisa saya ringkas menjadi tulisan sepanjang 1.500-an karakter termasuk spasi, jadilah. Seingat saya, naskah-naskah yang saya kirimkan ke media -- dua media, selalu dimuat, tanpa ada revisi signifikan dari redaksi.

Ketika mendapatkan ide, saya bukan hanya harus menuangkannya menjadi tulisan pendek, tetapi harus menata dan mempertimbangkan ide itu dalam format ilustrasi, pembahasan, dan penerapan.

Idealnya, penulisan renungan berangkat dari perenungan firman Tuhan yang dituangkan dalam pembahasan dan penerapan. Kemudian dicarikan ilustrasi yang relevan sebagai pelengkap. Yang kerap terjadi, saya menempuh proses yang terbalik. Biasanya saya mendapatkan suatu ilustrasi yang menarik dan kemudian memikirkan ide utama yang ditawarkan ilustrasi itu, misalnya mengasihi musuh. Lalu, dengan bantuan konkordansi atau daftar topik Alkitab, saya mencari bacaan Alkitab yang meneguhkan ilustrasi itu. Pada saat lain, ketika membaca suatu perikop firman Tuhan, saya diingatkan pada ilustrasi relevan yang pernah saya baca.

Proses di atas mengisyaratkan beberapa hal. Penulis renungan mau tidak mau menguasai dasar-dasar penelaahan Alkitab. Ia juga cukup akrab dengan topik-topik yang terkandung di dalam Alkitab. Jika ia hendak membahas soal aborsi, misalnya, ia bisa menemukan perikop atau ayat yang menyoroti isu tersebut. Selain itu, ia perlu memiliki gudang ilustrasi atau tahu bagaimana mencarinya bila memerlukan.

Menulis renungan juga memaksa kita membatasi diri dengan berfokus pada satu ide dalam satu tulisan. Misalnya, perikop tentang orang Majus. Banyak aspek yang bisa diangkat: Keputusan mereka untuk segera mengunjungi bayi raja yang baru lahir; kepercayaan mereka bahwa bayi yang di rumah itu, bukan di istana, adalah bayi raja yang mereka cari; persembahan mereka; ketaatan mereka pada perintah dalam mimpi, yang berarti melawan pesan Herodes; dan sebagainya. Nah, kita harus memilih menulis satu aspek saja dalam satu renungan, agar renungan kita terfokus.

Ini sebenarnya suatu kesempatan yang baik untuk menggali firman Tuhan dari berbagai sisi. Sebuah renungan bisa berangkat dari kata kunci tertentu ("tinggal"); tokoh yang jarang dibicarakan dalam suatu perikop (Ishak dalam kisah pengorbanan Abraham); atau benda yang mungkin diabaikan (kain lampin), namun memiliki makna istimewa.

Salah satu hal yang berusaha saya hindari ialah membaca renungan orang lain. Alasannya sederhana saja: sedapat mungkin menghindari plagiarisme. Saya lebih suka "berbelanja bahan mentah": membaca buku tafsir Alkitab dan buku pendalaman Alkitab. Adapun ilustrasi, bisa saya dapatkan dari berita, film, novel, dan sebagainya. Saya menyiapkan folder "Aneka Ide" untuk menampung bahan-bahan mentah itu, yang pada waktunya dapat saya olah, saya padu padankan menjadi renungan.

Tantangan lain dalam menulis renungan ialah menghindarkan nada menggurui. Bagaimana kita bisa menggugah pembaca tanpa berlagak lebih tahu, lebih hebat, dan menyuruh-nyuruh. Salah satu kiatnya ialah dengan menggunakan kata ganti "kita", bukan "Anda", dalam bagian penerapan.

Dengan segala tantangan dan keunikannya, saya merasakan penulisan renungan sebagai proses yang relatif berat di antara penulisan jenis lain. Kesulitan utamanya terletak pada perlunya menyelaraskan ilustrasi, pembahasan, dan perenungan, dalam ruang yang sependek itu. Selama ini, saya pernah selama tiga-empat bulan berturut-turut tidak menghasilkan renungan, tetapi pernah juga dalam sebulan mengirimkan 30 renungan.

Yang sangat menolong, redaksi memberikan tanggapan secara konsisten. Setiap naskah yang kita kirimkan akan dipilah dalam empat kategori: layak muat, revisi kecil, revisi besar, dan dikembalikan. Revisi kecil biasanya berkaitan dengan data dan fakta, yang dapat dengan mudah diperbaiki oleh redaksi. Adapun revisi besar diperlukan bila ada kekeliruan yang lebih parah dan perlu melibatkan penulis bersangkutan untuk memperbaikinya. Mungkin ilustrasi yang tidak cocok, pembahasan yang melantur, atau penerapan yang abstrak. Bisa jadi juga karena idenya secara teologis perlu diluruskan. Respons ini termasuk salah satu pendorong untuk terus menekuni dan mengembangkan tulisan renungan sebaik mungkin.

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku: Panduan Peserta Papirus
Judul artikel: Proses Kreatif Menulis Renungan Harian
Penulis: Arie Saptaji
Penerbit: Tidak dicantumkan


POJOK BAHASA: LISAN DAN TULISAN

"Bahasa pada hakikatnya adalah lisan, bukan tulis," kata Lie Charlie dalam kolom Bahasa, edisi Jumat, 11 Juni 2010.

Ini hanya benar secara kronologis. Bahasa berevolusi dari lisan ke tulisan. Budaya bergerak dari "orality" ke "literacy". Dengan percetakan, teks menjadi makin utama. Kini, radio, televisi, dan internet pun hanya bisa ada dan berfungsi dengan tulisan. Tulisan tidak akan ada tanpa lisan. Tetapi, bahasa tulisan bukan sekadar bahasa lisan yang dituliskan. Hakikat bahasa tidak lagi lisan.

Dunia oral maupun literal kaya makna. Tetapi, ciri dan dampaknya pada proses berpikir manusia dan sebagai kekuatan pengaruh evolusi sosial sangat berbeda. Bukan hanya itu, sejak tulisan pertama lahir -- lebih dari 5.000 tahun lalu di Sumeria (Irak Selatan), disusul Mesir, China, dan sampai detik ini, sejarah mencatat bahwa bangsa bertulisan lebih unggul daripada bangsa berlisan saja. Nyatanya, sejarah adalah tulisan. Tulisan adalah cikal bakal peradaban. Tulisan tinggal, lisan tanggal.

Tulisan jauh lebih akurat, tahan lama, dan efisien dalam melahirkan, menyimpan, memproses, dan mengembangkan gagasan, sampai yang serumit-rumitnya dan seluas-luasnya. Dari gagasan ke tindakan hanya selangkah. Tanpa tulisan, tidak ada dunia modern, ilmu pengetahuan lambat berkembang, teknologi sebatas sederhana, komunikasi sejauh teriakan, transportasi sekuat tungkai selebar layar. Buta tulisan, biarpun kaya lisan, adalah resep kemiskinan dan ketidakberdayaan.

Filsuf Yesuit dan pakar ilmu bahasa, Walter Ong, mendaftarkan beberapa ciri oralitas yang kontras dengan budaya tulisan. Karena ingatan adalah satu-satunya alat memelihara pengetahuan, maka dalam dunia lisan, kosakata sedikit, tata bahasanya sederhana, kata dan konsep diulang-ulang, dan gaya formula umum dipakai, ciri-ciri yang memang masih kental dalam bahasa Indonesia. Formula seperti pantun dan syair misalnya, sangat terkenal di dunia Melayu, yang tidak asing dengan pidato, pepatah-petitih, dan silat lidah.

Guru-guru yang hidup dalam dunia lisan selalu menuntut murid-murid menghafal, bahkan menghafal mati, sampai hal-hal yang seremeh-remehnya. Dalam dunia tulisan, hanya hal-hal mendasar yang perlu dihafal. Yang perlu adalah mengasah pemahaman, ketajaman berpikir, kemampuan analitis, abstraksi, dan seterusnya. Dalam lisan, yang penting adalah data. Dalam tulisan, yang utama adalah olah-data. Akibatnya, lisan itu statis menoleh ke belakang, tulisan itu dinamis menatap masa depan.

Dunia oralitas juga penuh dengan ungkapan-ungkapan ekspresif, seperti adil makmur, aman sentosa, dan lain-lain. Klise memang berkembang dalam dunia lisan. Dengan tulisan, kata-kata dalam ungkapan-ungkapan seperti itu bisa dipecah dan dianalisis, sehingga timbul kompleksitas yang merombak dan memperkaya makna. Yang perlu bukan hanya kemampuan baca tulis, melainkan memfungsikan tulisan sebagai instrumen berpikir. Misalnya, hanya dengan tulisanlah bisa dikembangkan daftar, tabel, dan statistik. Bukan berpikir lalu menulis, melainkan menulis sebagai bagian dari proses berpikir canggih.

Tulisan meningkatkan pikiran. Pikiran meningkatkan tulisan. Pemikir adalah penulis.

Diambil dari:
Nama situs: Rubrik Bahasa
Alamat URL: http://rubrikbahasa.wordpress.com/2010/06/18/lisan-dan-tulis
Penulis artikel: Samsudin Berlian
Tanggal akses: 25 Juli 2011


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar