Kamis, 29 September 2011

Guru: Sahabat dalam Belajar

oleh: Akhmad Muhaimin Azzet


Guru yang dicintai oleh anak didiknya adalah yang bisa menjadi sahabat dalam belajar. Guru yang menjadi sahabat ini adalah hal baru dan penting untuk diperhatikan. Berbeda dengan zaman dahulu yang beragam informasi tidak mudah diakses dengan kecanggihan teknologi sebagaimana saat ini. Saat itu, guru seakan menjadi satu-satunya sumber ilmu. Peran seorang guru adalah memberikan ilmu kepada anak didiknya. Oleh karena itu, seorang guru akhirnya juga bisa menjadi penguasa tunggal di dalam kelas.

Sebagai penguasa tunggal di dalam kelas, seorang guru di zaman dahulu bebas melakukan apa saja, termasuk dalam memberikan hukuman kepada murid-muridnya. Apabila ada murid sedikit saja tidak menunjukkan perhatian ketika pelajaran diterangkan, maka seorang guru bisa melemparkan penghapus kepada murid yang tidak perhatian tersebut. Ada juga seorang guru yang mempunyai kebiasaan mencubit anak didiknya sampai sang anak menjerit-jerit, bahkan bekas cubitannya pun menghitam hingga beberapa hari baru hilang. Sang anak pun enggan mengadukan perlakuan sang guru tersebut ke orangtuanya. Sebab, orangtuanya pun biasanya malah menyalahkan anak yang menuduh tidak patuh sama gurunya.

Namun, pada saat iklim keterbukaan, demokrasi, dan mudahnya akses pengetahuan sebagaimana sekarang, seorang guru yang disenangi anak didik adalah yang bisa menjadi sahabat dalam belajar dan memahami kehidupan yang terus berkembang. Guru yang menempatkan diri sebagai seorang sahabat akan membuat anak didik merasa dekat dan nyaman. Kedekatan dan rasa nyaman ini sungguh penting kaitannya dengan motivasi dan semangat anak didik dalam proses pembelajarannya.

Anak didik yang merasakan hubungan dengan gurunya yang tidak kaku, dekat, dan penuh persahabatan akan merasakan bahwa belajar di sekolah itu adalah hal yang menyenangkan. Bila anak didik telah merasakan kesenangan dalam belajar tentu ia akan bersemangat ketika berada di sekolah; demikian pula ketika belajar di rumah yang biasanya dilakukan untuk membaca kembali pelajaran di sekolah atau mengerjakan PR dari gurunya di sekolah. Bila hal ini telah terjadi, maka tujuan dari proses balajar mengajar akan lebih mudah tercapai.

Sebaliknya, apabila pada zaman yang ternyata ilmu pengetahuan dapat diakses oleh anak didik melalui banyak media, termasuk radio, televisi, maupun internet ini seorang guru masih berlagak sebagai satu-satunya orang yang paling pandai di depan kelas, tentu tidak akan disenangi oleh anak didiknya.

Ada sebuah cerita dari seorang guru yang mengajar di salah satu SMU di Yogyakarta. Berdasarkan beberapa laporan mengatakan bahwa di dalam telepon genggam (HP) anak didiknya berisi gambar dan situs porno. Pada hari tertentu maka disepakatilah operasi HP yang dimiliki para siswa oleh beberapa guru yang telah ditunjuk. Apa yang terjadi pada saat operasi tengah berlangsung. Pada kelas pertama yang dituju, ternyata beberapa guru yang ditunjuk untuk mengoperasi HP para siswa tersebut merasa kesulitan untuk membuka-buka isi HP siswanya karena rata-rata model baru dibanding HP milik para gurunya. Guru-guru tersebut merasa malu dan akhirnya tidak melanjutkan operasi pada kelas berikutnya.

Kejadian sebagaimana di atas hanyalah sekadar satu contoh saja; ternyata seorang guru di zaman sekarang bukanlah satu-satu sumber ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, menjadikan anak didik sebagai sahabat adalah pilihan cerdas bagi seorang guru yang ingin dicintai oleh anak didiknya. Seorang guru yang tampil sebagai sahabat bagi anak didiknya tentu akan menjadikan pribadinya hangat dan penuh keakraban dengan anak didiknya.

Seorang guru yang tampil penuh persahabatan dengan anak didiknya tentu bukanlah guru yang begitu mudah menjatuhkan hukuman bagi anak didik yang melanggar. Apalagi tanpa bertanya sebelumnya kepada anak didiknya mengapa melakukan perbuatan yang tidak baik atau melanggar aturan sekolah, tapi langsung saja melemparkan penghapus, mencubit, menjewer, atau bahkan memukul dengan penggaris kayu.

Seorang guru yang menjadikan dirinya sahabat bagi anak didiknya dalam belajar bukan berarti tidak mengenal hukuman. Jika ada di antara anak didiknya melakukan pelanggaran, tentu tidak boleh dibiarkan begitu saja. Pada suatu hari, penulis berkesempatan berkunjung ke sebuah sekolah. Pada saat melihat proses belajar mengajar, ada beberapa siswa yang duduk di jendela. Bahkan, ada dua anak didik yang naik mimbar yang berada dalam ruang belajar tersebut; tidak hanya naik, tapi duduk di atas mimbar. Penulis prihatin ketika dalam ruang belajar tersebut ada seorang guru yang sedang membimbing mereka dan tidak menegur sama sekali beberapa anak didiknya yang naik jendela dan duduk di atas mimbar. Menurut penulis, bagaimanapun juga seorang guru perlu mempunyai perhatian apabila ada di antara didiknya yang tidak fokus terhadap kegiatan belajar, apalagi sampai melakukan hal yang tidak sepatutnya dalam proses belajar mengajar.

Hal yang dapat dilakukan oleh seorang guru apabila anak didiknya melakukan pelanggaran semestinya tidak langsung memberikan hukuman. Atau, jika bisa, tidak perlu memberikan hukuman. Namun, mengajak bicara secara baik-baik anak tersebut dalam rangka untuk menanyai alasannya atau mengapa ia melakukan perbuatan tersebut. Lebih baik lagi, jika pembicaraan dengan anak didik tersebut dilakukan dengan empat mata atau berdua saja dengan sang anak didik. Sebab, bagaimanapun juga, meski masih anak-anak, ia tidak ingin dipermalukan dengan dihukum di hadapan teman-temannya.

Pembaca yang budiman, dari pengalaman penulis, ternyata mengajak bicara secara empat mata dengan anak didik yang melakukan penggaran, mempunyai pengaruh yang sangat positif dalam mengubah perilaku negatif anak didik. Dengan mengajaknya bicara secara empat mata akan membuat anak didik diperlakukan sebagai sahabat yang dilindungi kehormatannya di hadapan teman-temannya. Sungguh, melindungi kehormatan teman, namun di saat yang sama juga memperbaiki hal tidak baik yang dilakukannya, adalah bentuk persahabatan yang luar biasa. Bukan malah mempermalukan teman di hadapan orang lain atau membiarkan begitu saja seorang teman yang melakukan kesalahan. Bentuk persahabatan yang semacam ini juga perlu diterapkan seorang guru terhadap anak didiknya.

Sistem belajar yang memosisikan seorang guru sebagai sahabat bagi anak didiknya sesungguhnya melawan sistem belajar yang menempatkan guru pada posisi yang paling berkuasa di dalam kelas. Sebab, jika guru secara terus-menerus memaksakan diri untuk menjadi penguasa tunggal di dalam kelas, justru akan membuat proses pendidikan berjalan lambat dan sulit maju. Hal ini disebabkan posisi seorang guru yang sangat dominan sehingga menjadikan murid mempunyai ketergantungan yang besar kepada gurunya. Siswa yang demikian ketika kelak memasuki dunia kerja pun sangat tergantung pada pimpinan atau bos. Mereka sulit memunculkan inovasi dan kreativitas. Jika yang terjadi adalah sebaliknya, yakni anak didik ternyata banyak menyerap ilmu pengetahuan-terutama dari media informasi yang berkembang pesat di zaman modern ini-sementara gurunya tidak melakukan hal yang sama, tentu akan menjadikan guru yang tetap memaksakan diri sebagai satu-satunya sumber informasi yang utama bagi anak didiknya akan tidak berkesan lagi bagi anak didiknya.

Dengan demikian, guru yang menjadikan anak didiknya sebagai sahabatnya maka akan memosisikan diri setara dengan anak didiknya. Guru seperti inilah yang akan mampu menciptakan atmosfir belajar yang hangat, menyenangkan, membangkitkan semangat, dan membangun kepercayaan diri yang besar dalam diri anak didik. Jika sudah demikian, maka guru yang bisa menjadi sahabat bagi anak didiknya akan dicintai oleh mereka, sehingga hal ini akan berbanding lurus dengan keberhasilan dalam mewujudkan tercapainya tujuan belajar mengaja.
www.askopgideon.com Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar