Apakah kita termasuk orang tua yang berpikir bahwa anak-anak kita bisa dengan sendirinya menghasilkan buah Roh, jika kita sudah membawa mereka ke sekolah minggu? Atau jika kita sudah membacakan Alkitab setiap hari pada mereka? Atau jika kita sudah mendoakannya siang dan malam?
Buah Roh adalah hasil dari karya Roh Kudus dari seorang yang memiliki dan mengikuti kehendak Kristus. Namun, untuk menghasilkan anak-anak yang menunjukkan buah Roh dalam keseharian hidup mereka, bukan hanya pekerjaan Roh Kudus saja yang menjadi andalan kita, melainkan pelatihan dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan baik juga perlu kita ajarkan berulang-ulang pada anak.
Musa sendiri mengingatkan bahwa untuk mengajarkan cinta pada Tuhan, haruslah dilakukan di berbagai tempat -- di rumah, dalam perjalanan, di sekitar meja makan saat sarapan, makan malam, saat anak-anak bersenda gurau, maupun saat anak-anak sedang bermain. Mengapa harus sesering itu? Sebab sejak zaman umat Allah, telah disadari bahwa halangan untuk melakukan apa yang Tuhan kehendaki dapat terjadi di berbagai tempat dan dengan berbagai cara.
Mengenal Kasih dan Mempraktikkan Kasih
Hal yang tidak boleh kita lupakan sebelum mempraktikkan kasih adalah belajar mengenal Sang Kasih itu sendiri. Matius 7:22 mengingatkan kita bahwa suatu kali dalam penghakiman nanti, bisa jadi Tuhan tidak mengenal orang-orang yang mengaku telah mengikut Dia. Salah satu kalimat berbunyi, "... Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyah ..." Kata "mengenal" yang digunakan dalam ayat ini adalah "ginosko", yang berarti "mengenal melalui pengalaman pribadi atau usaha atau belajar mengenal."
Dari mana anak-anak kita belajar menghayati dan menikmati kasih dari Tuhan? Tidak lain dari orang tua mereka. Kita merupakan contoh bagaimana kasih Allah nyata dalam hidup anak-anak kita. Cara kita menegur dan mendisiplin mereka, cara kita mengatakan "Aku mengasihimu" melalui pemberian atau kedekatan fisik, cara kita menunjukkan kasih pada pasangan, cara kita menunjukkan kasih pada mertua atau orang tua kita, cara kita memperlakukan orang lain yang berpapasan dengan kita, cara kita memperlakukan orang-orang yang bekerja pada kita, atau cara kita berhubungan dengan Tuhan, merupakan model kasih yang membekali mereka dalam mengasihi.
Selain melihat model kasih dari orang tua, anak-anak juga dapat belajar mengasihi melalui cara kita mengomentari setiap kejadian, yang secara spontan kita alami. Misalnya, saat anak melihat orang-orang yang bertengkar, apa komentar kita terhadap hal itu? Atau saat kita kedatangan tamu dan kebetulan mereka membawa anak-anak mereka, apa yang kita ajarkan pada anak saat anak kita sedang memegang mainannya? Apakah kita mengajak mereka untuk berbagi?
Di dalam kasih tidak ada ketakutan. Takut atau khawatir adalah salah satu penghalang bagi kita untuk mengasihi. Kita bisa takut mengasihi karena takut disakiti. Kita bisa takut menyatakan kasih kalau-kalau kita mengalami penolakan. Kita takut memberi cinta karena takut tidak mendapat cinta yang setimpal dengan apa yang kita beri. Padahal prinsip inilah justru yang perlu dihindari saat kita mengajarkan anak-anak kita untuk mengasihi.
Kita mengajarkan anak-anak mengasihi, bukanlah supaya mereka mendapatkan kasih dari orang lain, melainkan kita mengajarkan anak-anak untuk mengasihi karena mereka mendapatkan kasih dari dan memiliki kasih Allah yang sejati. Dan kasih yang mereka berikan pada orang lain, bukanlah kasih yang terkondisi oleh perasaan sesaat. Betul, saat kita memiliki perasaan haru atau belas kasihan, itu menjadi pendorong kita untuk mengasihi. Tapi bagaimana kalau perasaan itu berubah jadi kebencian? Kalau anak-anak kita merasa marah pada teman yang merebut mainannya? Atau mereka sedih karena tidak diperhatikan oleh teman-temannya? Di sinilah kekuatan kasih. Kasih tidak bergantung pada perasaan kita. Ia ada karena Tuhan yang memerintahkan kita untuk terus mengasihi.
1 Yohanes 4:7-8 mengatakan, "saudara-saudaraku yang terkasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah, dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Siapa yang tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih".
Kasih tidak bergantung pada perasaan, tetapi pada pola pikir anak-anak kita, sehingga mereka mau tidak mau terbawa untuk mengasihi dalam kondisi apa pun. Mereka mungkin akan melakukannya dengan berat hati, namun karena mereka tahu bahwa itu adalah baik yang mereka harus lakukan, maka ketaatan pada Sang Kasih menjadi otoritas tertingginya, dan bukan perasaannya.
Kemurahan merupakan salah satu bagian dari buah Roh, yang seharusnya terjadi karena gerakan hati yang memiliki belas kasihan akan orang-orang di sekitar kita, sehingga dengan sukacita kita melakukan sesuatu untuk orang-orang tersebut.
Itulah sebabnya, untuk menjadikan anak-anak kita berhati tulus dalam menyatakan kemurahan hatinya, diperlukan kebiasaan dalam berpikir sebelum anak-anak kita diajak untuk bertindak sesuatu. Misalnya saja, saat anak-anak kita melihat orang-orang yang meminta-minta di pinggir jalan. Kepekaan bahwa ada orang-orang di pinggir jalan yang membutuhkan perlu diperdengarkan oleh kita sebagai orang tua. Misalnya, "Lihat Dik, orang-orang di pinggir jalan itu. Kasihan mereka, ada yang tidak punya rumah, ada juga yang belum makan. Mereka minta-minta karena mereka perlu uang untuk makan."
Penjelasan di atas memang akan menjadi kurang cocok jika dijelaskan pada anak usia SD. Itulah sebabnya, penjelasan mengenai hal di atas perlu ditambah atau dilengkapi sesuai dengan bertambahnya usia anak. Misalnya, "Orang-orang di pinggir jalan itu memang tidak punya uang untuk makan. Tetapi sebetulnya, bisa saja mereka bekerja. Sayangnya, bisa jadi di antara mereka ada yang sudah mencari pekerjaan tetapi tidak mendapatkannya. Dan karena uang yang mereka dapat dari hasil meminta-minta lebih besar daripada mereka bekerja, akhirnya mereka menjadikan ini sebagai pekerjaan mereka."
Dalam diskusi dengan anak-anak yang lebih besar, tentu saja mereka bisa bertanya, "Kalau begitu untuk apa kita memberi mereka? Bukankah mereka akan menjadi seorang yang malas bekerja dan hanya meminta-minta?" Lalu kita bisa menjawab, "Tentu, mereka bisa menjadi orang yang malas bekerja. Dan lebih menyedihkan lagi kalau mereka justru menggunakan anak-anak mereka untuk mengundang belas kasihan orang lain. Tetapi bagaimanapun juga, mereka adalah orang-orang yang berbeda dari kita. Mungkin sedikit roti atau susu bisa berguna untuk kesehatan anak-anak itu, daripada kita memberi uang. Mungkin saja orang tuanya tidak membelikan susu untuk mereka, siapa lagi yang mau peduli kalau kita saja melewatkan mereka begitu saja setiap minggunya. Ayo kita siapkan susu setiap kali kita melewati jalanan ini."
Yang kita harapkan adalah anak-anak belajar peka, bahwa ada orang-orang di sekitarnya yang berbeda dari mereka, dan membutuhkan uluran tangan Tuhan melalui kita. Jika ada seorang anak yang menjadi kedi payung, tujuan utama kita adalah mengajarkan anak-anak kita untuk memberi pada mereka yang tidak sama kehidupannya dengan keluarga kita. Bukan berarti kita hendak menghakimi atau menduga, siapa di balik usaha kedi payung tersebut? Atau uang yang mereka terima akan dipergunakan untuk apa? Arahkan terus pada kepekaan anak untuk bermurah hati pada orang-orang di sekitarnya. Ajaklah mereka untuk menyadari bahwa Tuhan bisa menitipkan orang-orang yang tidak sama dengan mereka, agar kita belajar bermurah hati. Misalnya, pada orang yang lebih tua, pada seorang oma atau opa, pada teman yang tidak membawa makanan kecil seperti anak kita, atau juga pada sebuah berita yang melalui gereja atau sekolah, anak-anak kita bisa belajar berbagi.
Melakukan Pekerjaan Baik
Menurut W.E. Vine, seorang cendekiawan Yunani, dalam "Vine's Expository Dictionary of New Testament Words", kemurahan atau keramahan surgawi adalah: "sikap penuh kasih Allah terhadap orang lain," sedangkan kebaikan adalah: "suatu tindakan atau perbuatan baik yang dilakukan bagi kepentingan orang lain."
Itulah sebabnya, menurut Greg Zoschak, jika seorang Kristen tidak memiliki kemurahan dari Allah, ia mustahil akan melakukan kebaikan pada orang-orang di sekitarnya. Lebih lanjut lagi, kemurahan adalah apa yang orang-orang dapat lihat melalui diri orang beriman, sedangkan kebaikan adalah apa yang mereka alami dari orang beriman tersebut.
Untuk menjadi anak-anak Tuhan yang baik, mereka bukan hanya perlu menunjukkan sikap baik mereka pada anggota keluarga atau orang-orang yang dekat dengan anak, sehingga banyak orang menyaksikannya. Namun, anak-anak juga perlu belajar untuk keluar dari zona kenyamanan mereka, yaitu tempat di mana mereka merasa aman melakukan kebaikan. Di mana tempat itu? Tempat itu adalah di dalam rumahnya, di lingkungan teman dekatnya, atau di lingkungan keluarga besarnya.
Salah satu cara untuk melatih kebaikan kita pada orang-orang di luar zona nyaman kita adalah belajar memikirkan satu hal yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan diri kita, keluarga kita, gereja kita, atau sahabat kita. Kepada atau pada mereka itulah kita dan anak-anak kita bisa belajar berbuat baik.
Kebaikan haruslah dirasakan oleh mereka yang sama sekali tidak bisa membalas kebaikan kita dan anak-anak kita. Mungkin juga sampai orang yang kepadanya kita berbuat baik mengatakan, "Aduh, saya tidak bisa membalas apa-apa. Terima kasih!"
Yesus mengumpamakan kebaikan dengan garam, Matius 5:13 mengatakan, "kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang."
Jikalau kita tidak memiliki kebaikan Tuhan, niscaya kita tidak mungkin dapat membuat orang lain merasakan kebaikan Tuhan itu melalui kita. Garam itu tidak terasa asin. Orang tidak akan mengatakan, "Ini asin!" atau "Terima kasih Tuhan atas kebaikan-Mu melalui orang itu!" melainkan orang akan mengatakan, "Aduh, aku berhutang pada dia. Sebab dia begitu baik pada saya."
Tidak ada orang tua yang menghendaki anak-anaknya menjadi anak-anak yang tidak setia pada Tuhan. Tapi bagaimana caranya membuat mereka tetap setia sampai akhir? Amsal 22:6 mengatakan, "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu."
Mendidik anak setidaknya memenuhi tiga hal: kognitif, afektif, dan psikomotorik anak. Salah satu cara mendidik anak untuk tetap setia adalah dengan mengajarkan mereka untuk setia datang ke gereja atau sekolah minggu.
Kebiasaan lain yang dapat mengajarkan anak untuk setia adalah berdoa bersama keluarga, atau juga kebiasaan membaca Alkitab. Ada banyak Alkitab versi anak-anak dengan berbagai usia yang dapat membuat anak mengerti isi dan pesannya. Seperti ritual sikat gigi dan mencuci kaki setiap malam, biarkan orang tua, khususnya para ayah diberikan kesempatan untuk menjelaskan isi dan pesan Alkitab pada anak-anak sebelum tidur setiap harinya. Bahkan saat anak sedang berlibur, dirawat di rumah sakit, atau bepergian, ingatkan mereka untuk melakukannya sebagai bagian tradisi keluarga, tetapi juga hal yang Tuhan kehendaki.
Itu sebabnya, kita sebagai orang tua juga perlu mengisi diri sebelum mengajarkannya pada anak-anak kita. Kesetiaan itu dapat kita mulai dengan memilih satu kali selain hari Minggu, tempat atau wadah di mana kita bisa mempelajari Alkitab bersama teman-teman seiman, entah itu dalam Kombas, persekutuan wilayah, persekutuan doa pagi, atau persekutuan lainnya.
Diringkas dari:
Nama situs: gkipi.org
Alamat URL: http://gkipi.org/mengajarkan-buah-roh-pada-anak/
Judul artikel: Mengajarkan Buah Roh Pada Anak
Penulis: Riani Josaphine
Tanggal akses: 12 Desember 2011
www.askopgideon.com Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar