Arjuna Arjuna Arjuna
Mazmur 25:17-21
Ketulusan dan kejujuran kiranya mengawal aku, sebab aku menanti-nantikan Engkau (Mazmur 25:21).
Wayang itu bayang-bayang orang—bayangan aklak dan watak, kodrat, hasrat, prahara, mahardika, tragedi dan juga komedi. Mari sejenak menyimak lakon "seorang" wayang, namanya Arjuna. Pria tampan yang melankolis. Petarung ulung yang piawai memanah. Pejantan tangguh yang rela dimadu oleh Dewi Drupadi. Dari kisah
poliandri ini kita bisa menemukan kejujuran dan ketulusan Arjuna.
Konon, ketika Pandawa menetap di Indraprasta, lima bersaudara itu tetap memegang teguh janji mereka dalam memperistri Dewi Drupadi. Pandawa sudah menetapkan prioritas dalam menjalankan kewajiban suami pada sang dewi.
The first husband adalah Yudistira, lalu Bima. Arjuna menyusul pada giliran ketiga.
Next husband adalah Nakula, dan Sadewa mendapat jatah terakhir. Perjanjian yang disaksikan Hyang Narada dan Begawan Wyasa itu memutuskan "hak otonomi" setiap saudara, dan kelak tak boleh ada yang
nyelonong masuk peraduan asmara saat sang istri bersama saudara yang lain. Siapa melanggar, wajib membuang diri ke hutan selama sepuluh tahun.
Suatu malam, seorang brahmana datang mengadu pada Arjuna bahwa peternakannya disatroni para perampok. Arjuna pun bergegas untuk menolong, tetapi panahnya ada di kamar. Astaga! Sang dewi sedang dalam peraduan bersama Yudistira. Jika ia
nyelonong masuk kamar, artinya sepuluh tahun harus membuang diri ke hutan. Jika niat menolong diurungkan, ia merasa berdosa. Arjuna pun memutuskan untuk menolong si brahmana.
Saat Arjuna memutuskan menolong si brahmana, ia tahu harus melanggar perjanjian, dan siap diasingkan. Meski Drupadi dan Yudistira maklum dan bisa memaafkannya, ia tetap bersikukuh pada keputusannya,
siapa berbuat harus berani bertanggung jawab. Dan, Arjuna membuang diri ke hutan selama sepuluh tahun. Ia tidak sekadar memikul tanggung jawab, tetapi juga tahu artinya bertanggung jawab.
Tanggung jawab bukan sebatas pilihan menjadi jujur, tetapi juga pilihan yang harus disertai ketulusan. Tanggung jawab yang jujur berarti
tulus iklas,
rela hati dan
sedia memberikan diri untuk menerima risiko. Jika kita menghamili diri dengan utang, seharusnya berani menerima anaknya, membayar bunga. Jika kita melakukan kesalahan, seharusnya kita tulus bertobat dan menebus diri menjadi benar. Kita seharusnya jujur dan tulus bertanggung jawab, tidak melempar batu sembunyi tangan.
Tidak sedikit orang percaya yang "memanfaatkan" penebusan Kristus tanpa disertai kejujuran dan ketulusan. Jika kita mengaku sebagai anak-anak Tuhan, seharusnya kita menjaga integritas diri, tidak ingin mendapat malu karena ingkar janji. Tidak mau dikekang oleh tabiat kefasikan. Seperti Daud kita seharusnya berharap agar ketulusan dan kejujuran mengawal kita, sebab Anda dan saya adalah anak-anak Tuhan yang senantiasa dipimpin-Nya. Percayalah, jika kita hidup jujur dan tulus, Tuhan pasti membebaskan kita dari segala kesulitan dan kesesakan hidup. Betapa indah hidup di bawah pimpinan Tuhan, kita pasti menjalaninya dalam kemuliaan dan kemurahan-Nya.
Siapa bersih kelakuannya, aman jalannya, tetapi siapa berliku-liku jalannya, akan diketahui. —Amsal 10:9
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar