Mat 22:1-14
"Pergilah
ke persimpangan-persimpangan jalan dan undanglah setiap orang yang kamu jumpai
di sana ke perjamuan kawin itu"
Ketika ada perjamuan
kawin alias pesta perkawinan pada umumnya semua yang hadir dalam perjamuan atau
pesta tersebut berusaha menampilkan diri secantik atau setampan mungkin dengan
harapan penampilannya akan mempesona, menarik dan memikat orang lain. Mereka
memang cantik atau tampan penampilannya, namun apakah hati, jiwa dan akal
budinya juga cantik atau tampan atau bersih kiranya boleh dipertanyakan. Kiranya
cukup banyak tamu ataupun penerima tamu dalam pesta perkawinan yang
mempercantik diri ke salon sehingga kehilangan keasliannya, lebih-lebih
rekan-rekan perempuan dalam merias wajah maupun menata rambutnya. Kemungkinan
juga ada yang pinjam pakaian atau assesori dari orang lain atau tempat
peminjaman seperti salon-salon dst.. Sabda hari ini mengajak dan mengingatkan
kita semua untuk jujur terhadap diri sendiri serta tampil apa adanya maupun
agar kita senantiasa mengusahakan kebersihan atau kesucian hati, jiwa dan akal
budi.
"Hai
saudara, bagaimana engkau masuk ke mari dengan tidak mengenakan pakaian pesta?"(Mat
22:12)
Yang dimaksudkan dengan
'pesta' di sini kiranya adalah ibadat, misalnya Perayaan Ekaristi bagi umat
Katolik atau bagi agama lain seperti pujian, sholat dst.. Kita dalam menghadiri
ibadat diharapkan dalam keadaan bersih, bebas dari dosa, maka jika sedang dalam
keadaan tidak bersih atau berdosa hendaknya terlbih dahulu membersihkan atau
menyucikan diri, dan bagi orang katolik berarti mengaku dosa. Beribadat berarti
bertemu dengan Tuhan; memang pada
umumnya orang bersih secara phisik namun belum tentu bersih secara
spiritual. Pesta mungkin juga dapat
diartikan sebagai kebersamaan dengan orang lain kapanpun dan dimanapun. Hemat
saya bersama dengan orang lain kita juga diharapkan bersih atau layak, yang
berarti berkehendak atau bermaksud baik, tdak bermaksud jahat. Hendaknya jangan
bertindak jahat terhadap saudara-saudari kita dimanapun dan kapanpun.
Dalam warta gembira ini
orang yang datang dan kemudian diusir tidak lain adalah orang-orang Farisi, dan
untuk masa kini berarti mereka yang bersikap mental secara materialistis,
orang-oang yang gila akan harta benda/uang, pangkat/kedudukan atau kehormatan
duniawi, orang-orang yang bersikap selama hidup di dunia ini berlaku sombong
dan senantiasa menomorsatukan dirinya sendiri. Sedangkan mereka yang kemudian
diundang, yang berasal dari pinggir-pinggir jalan adalah orang-orang yang
rendah hati cara hidup dan cara bertindaknya. Sebagai orang beriman atau
beragama kita semua dipanggil untuk hidup dan bertindak dengan rendah hati,
tidak sombong. Rendah hati antara lain berarti memiliki hati, jiwa, akal budi
dan tubuh atau tenaga yang senantiasa terbuka terhadap aneka kemugkinan dan
kesempatan dan tentu saja pertama-tama tebuka terhadap kehendak Tuhan, yang antaa
lain menggejala dalam kehendak baik saudara-saudari kita dimanapun dan
kapanpun. Orang-orang yang berada di pinggir jalan atau di persimpangan jalan
berartti memang tidak memiliki apa yang dapat diandalkan di dunia ini dan
terbuka terhadap orang lain.
Kami berharap anak-anak
sedini mungkin dibiasakan atau dididik untuk memiliki sikap mental rendah hati
atau keterbukaan. Hemat saya ketika
masih anak-anak atau bayi sungguh rendah hati dan terbuka, maka hendaknya hal
itu jangan ditinggalkan, melainkan terus diperdalam dan diperkembangkan dalam
hidup sehari-hari sampai mati. Keterbukaan diri anak-anak di masa kanak-kanak atau bayi sungguh
merupakan modal atau kekuatan yang tak boleh ditinggalkan atau dilupakan. Kepada
keluarga atau suami-isteri muda yang masih memiliki bayi atau anak kecil kami
dambakan untuk memperhatikan hal ini. Tentu saja, berkali-kali saya ingatkan, teladan orangtua bagi anak-anak
dalam hal penghayatan kerendahan hati maupun ketetbukaan diri sungguh
dibutuhkan secara mutlak, alias tak
dapat ditawar-tawar lagi. Masa balita anak-anak sungguh masa yang penting dan
strategis dalam pembinaan sikap mental atau karakter anak-anak, maka hendaknya
orangua jangan mensia-siakan masa balita ini, hendaknya dengan rela dan penuh
cintakasih memboroskan waktu dan tenaga bagi anak-anaknya selama masa balita.
Wujud cintakasih sejati adalah pemborosan waktu dan tenaga bagi yang terkasih.
"Aku
tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan
dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik
dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun
dalam hal kekurangan. Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi
kekuatan kepadaku" (Flp 4:12-13)
Kesaksian iman Paulus yang
disampaikan kepada umat di Filipi di atas ini kiranya dapat menjadi bahan
permenungan atau refleksi kita. "Tidak
ada sesuau yang merupakan rahasia bagiku.. segala perkara dapat kutanggung di
dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku", inilah yang hendaknya menjadi
bahan permenungan atau refleksi kita. Kita diharapkan tidak pernah merahasiakan
sedikitpun kepada suadara-saudari kita, dan tentu saja pertama-tama kepada
saudara-saudari serumah atau sekomunitas, sekantor atau setempat kerja. Kita dipanggil untuk senantiasa terbuka atau
transparan satu sama lain. Pertama-tama saya mengingatkan rekan-rekan
suami-isteri yang telah memiliki keterbukaan satu sama lain minimal secara
phisik yaitu ketika sedang memadu kasih dalam hubungan seksual, dan semoga juga
terbuka satu sama lain secara spiritual. Anda berdua memiliki pengalaman
terbuka satu sama lain secara mendalam, maka hendaknya pengalaman tersebut
terrus diperkembangkan dan disebarluaskan dalam hidup sehari-hari, pertama-tama
di dalam keluarga bagi anak-anak dan juga ditempat kerja maupun di lingkungan
masyarakat, Rukun Tetangga maupun Rukun Warga.
Bersikap mental dan
bertindak terbuka atau tranparan memang tak akan terlepas dari aneka macam
masalah atau perkara, dan jika menghadapi masalah atau perkara kita diharapkan
menanggung dalam Tuhan yang menganugerahkan rahmat dan kekuatan. Bersama dan
bersatu dengan Tuhan kita akan mampu mengatasi atau menyelesaikan aneka masalah
dan perkara. Bersama dan bersatu dengan Tuhan berarti berkehendak baik dan jika
kita sungguh berkehendak baik maka segala perkara dapat kita selesaikan,
mengingat dan memperhatikan cukup banyak ornng di dunia ini, di sekitar hidup
kita, yang berkehendak baik. Maka
bersama atau bersatu dengan Tuhan juga berarti bersama dan bersatu dengan saudara-saudari
kita yang berkehendak baik kapanpun dan dimanapun.
Bersama-sama atau
bergotong-royong dalam hidup dan bekerja itulah wujud keimanan kita kepada
Tuhan yang menganugerahkan rahmat dan kekuatan kepada kita semua. Dalam bergotong-royong tak ada seorangpun
yang berpangku tangan dan tiada bedanya besar atau kecil, tua atau muda,
anak-anak atau dewasa, pria atau wanita, semuanya bekerja atau berparitisipasi
dalam mengerjakan atau melaksanakan sesuatu. Budaya gotong-royong kiranya masih hidup dan kuat di masyarakat desa
atau pelosok, maka hendaknya budaya tersebut terus diperkembangkan dan
disebarluaskan. Ingat pepatah "bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh". "Sesungguhnya,
inilah Allah kita, yang kita nanti-nantikan, supaya kita diselamatkan. Inilah
TUHAN yang kita nanti-nantikan; marilah kita bersorak-sorak dan bersukacita
oleh karena keselamatan yang diadakan-Nya!" (Yes 25:5). Semoga apa yang
dikatakan oleh Yesaya ini juga dapat menjadi dukungan dan peneguhan bagi kita
dalam hidup bersama atau bergotong-royong.
"TUHAN
adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang
berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia
menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan
dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu
dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku." (Mzm 23:1-4
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar