Rabu, 19 Oktober 2011

TANTANGAN MENJADI KOMUNIKATOR KRISTEN YANG CAKAP

TANTANGAN MENJADI KOMUNIKATOR KRISTEN YANG CAKAP

Mengubah kehidupan moral masyarakat yang tidak tulus bukanlah hal yang mudah. Oleh karena itu, komunikator atau penulis Kristen yang ingin berperan dalam pekerjaan yang mulia ini, perlu memiliki kecakapan dan profesionalisme yang tinggi.

1. Dia harus tahu firman Tuhan.

Kita meyakini bahwa dalam Alkitab, Allah memberi petunjuk tertulis yang terbaik dan tepat untuk setiap masalah yang dihadapi manusia. Komunikator Kristen tidak harus lulusan sekolah teologi, tapi harus memiliki dasar yang kuat akan cerita dan arti Kitab Suci secara keseluruhan. Telinganya harus akrab dengan ajaran Perjanjian Lama, Tuhan Yesus, dan para rasul. Lebih dari itu, dia harus menghayati prinsip-prinsip yang digambarkannya, karena Alkitab tidak secara spesifik menyinggung semua masalah modern (misalnya, aborsi atau kloning manusia). Kalau dia belum tahu firman Tuhan yang relevan untuk permasalahan tersebut, dia harus rajin mencari tahu. Semuanya ini penting dalam berkomunikasi dengan masyarakat umum. Menyampaikan kebenaran Allah dalam bentuk yang bisa diterima oleh khalayak yang sekuler atau penganut agama lain, justru menuntut keterampilan yang lebih tinggi.

2. Dia harus tahu bidang yang dibahasnya.

Lebih gampang mengkritik daripada membangun. Panggilan orang Kristen adalah membangun. Untuk memberi solusi yang konstruktif itu, kita harus memahami prinsip-prinsip yang berlaku secara spesifik untuk bidang itu, dan praktiknya di lapangan. Hal ini juga menyangkut pengetahuan akan pemahaman moral yang berlaku dalam bidang tersebut, baik di dalam maupun luar negeri. Melihat hal ini, alangkah baiknya kaum profesional Kristen memanfaatkan media yang ada, untuk membicarakan masalah moral yang dihadapinya, untuk kepentingan sesama profesional dan masyarakat luas. Jadi, dokter membicarakan etika medis, pengacara atau hakim membicarakan etika hukum, pengusaha seperti Max De Pree membicarakan etika dunia bisnis. Mengenai nilai-nilai di Barat, Dr. Cooray berkata, "Nilai-nilai dan institusi dari keadaban serta agama dan moralitas yang menopangnya, merupakan peralatan yang kuat apabila dianjurkan dengan penalaran yang baik dan toleransi". Untuk "penalaran yang baik", diperlukan pengertian yang baik pula.

3. Dia harus tahu permasalahan yang dibahasnya.

Saya pernah membuat suatu karangan tentang aborsi. Penuh semangat sebagai Kristen yang baru dan penulis pemula, saya memaparkan alasan bahwa janin merupakan makhluk yang hidup, dan saya memberi dasar hukum untuk menyatakan itu -- yang berarti dia harus dilindungi oleh hukum juga. Kemudian saya mengirim tulisan saya kepada suatu organisasi di Kanada yang memperjuangkan hak hidup bayi dalam kandungan. Tulisan saya ditanggapi seseorang yang mengucapkan apresiasinya untuk kepedulian saya. Lalu, dia menjelaskan bahwa status hidup dari janin sebenarnya sudah terbukti secara hukum. Yang menjadi masalah bukan itu. Masalah yang sebenarnya pengadilan tidak mengakui janin itu sebagai seorang pribadi, yaitu manusia sesungguhnya, sehingga hak hidupnya tidak dilindungi secara hukum. Mungkin aneh kedengarannya, tetapi itulah kenyataannya. Saya mengambil pelajaran dari pengalaman itu, bahwa semangat dan niat baik saja tidak cukup untuk memberi sumbangan demi mengatasi masalah serumit dan sekompleks itu. Apalagi kalau jumlah orang yang berlawanan pendapat banyak dan berkuasa.

Memperjuangkan kehidupan moral bangsa kita yang lebih baik, menuntut niat baik dan pengetahuan serta dedikasi tinggi. Diperlukan juga sikap tidak mengenal kompromi serta semangat pantang menyerah. Melihat ini baiklah kita mendengar perkataan John Wesley kepada William Wilberforce, sesaat sebelum Wesley meninggal. Wilberforce sudah lama memperjuangkan pembebasan budak, tapi impiannya belum terwujud. Kata Wesley kepadanya, "Janganlah lelah berbuat baik".

Diambil dari:
Judul buku: Mengomunikasikan Pesan Kristiani yang Kreatif Berbobot Enak Dibaca
Penulis: Dr. Miriam Adeney
Penerbit: Yayasan Komunikasi Bina Kasih
Halaman: 6 -- 7


TOKOH PENULIS: BANG MULA HARAHAP
Dirangkum oleh: Truly Almendo Pasaribu

Tidak susah menggambarkan ciri-ciri fisik tokoh perbukuan Indonesia ini. Perawakannya tinggi, wajahnya berewokan, rambutnya gondrong, dan beruban. Dari logatnya, Anda bisa langsung menebak asal sukunya, Batak. Banyak orang mengenalnya sebagai pejuang dunia perbukuan, tetapi sebenarnya Bang Mula Harahap adalah seorang penulis, editor, penerjemah, sekaligus pemerhati budaya.

Sejak kecil, Bang Mula, yang bernama lengkap Armyn Mulauli Harahap, sudah terpesona dengan bermacam-macam buku bacaan. Betapa beruntungnya dia bisa mewujudkan kecintaannya ini dalam dunia karier. Dia mulai menulis cerita-cerita untuk majalah anak-anak "Kawanku". Kemudian selama 13 tahun, dia menjadi editor penerbit buku BPK Gunung Mulia. Minatnya terhadap dunia perbukuan mendorongnya untuk mendirikan penerbitan buku yaitu "Komindo Mitra Utama". Bang Mula memahami seluk-beluk distribusi perbukuan. Buku referensi, ilmu pengetahuan, dan sastra merupakan santapan harian Mula Harahap.

Dari tahun 1988 sampai 2006, Mula Harahap aktif menjadi Sekretaris Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Saat bertugas menjadi sekretaris IKAPI, gagasannya mendapat perhatian dari para pencinta buku. Salah satunya, Mula Harahap mengkritik ide para penggagas Undang-Undang perbukuan demi kepentingan penerbit. Baginya, undang-undang tersebut hanyalah upaya orang-orang yang tidak memahami dunia penerbitan buku. Menurutnya, peraturan itu membuat dunia penerbitan lesu karena pemerintah ikut campur dalam proyek mereka. Undang-Undang ini juga menyebabkan bubarnya Perhimpunan Masyarakat Gemar Membaca (PMGM).

Setelah masa jabatannya sebagai sekretaris IKAPI berakhir, Mula Harahap tetap terlibat dalam IKAPI. Dia masih memberi perhatiannya kepada Yayasan Adi Karya, yayasan di bawah naungan IKAPI yang memberikan penghargaan kepada buku-buku terbaik. Dia juga terlibat aktif sebagai pengurus YOKOMA, sebuah organisasi di bawah naungan Persatuan Gereja Indonesia (PGI).

Saat bekerja di Gunung Mulia, Mula Harahap menemukan tulang rusuk kariernya atau belahan jiwanya, seorang gadis berdarah Ambon marga Tahapary, yang di kemudian hari melahirkan dua orang anak. Di mata anaknya, Riri Harahap, penulis berambut sebahu itu mendidik dengan cara yang cukup unik dan berbeda dibandingkan orang tua lain. Semasa bersekolah dia tidak pernah dituntut mendapat nilai yang bagus. Riri telah memberinya seorang cucu. Dengan demikian, dalam budaya Batak, Mula Harahap adalah opung yang dihormati dan dianggap sepuh. Akan tetapi, dia lebih memilih dipanggil abang yang mencerminkan semangatnya untuk menulis.

Walaupun telah lama tinggal di pulau Jawa, Bang Mula masih tekun memerhatikan budaya aslinya. Dia sangat prihatin melihat perkembangan sastra Batak saat ini. Menurutnya, bahasa Batak akan hilang. "Bahasa itu seperti hutan tropis, setiap tahun akan ada yang hilang," katanya menganalisis dengan serius. Di samping menerbitkan umpasa (perumpamaan) Batak, diperlukan juga sastra Batak yang bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman, katanya lebih lanjut.

Saat menghadiri undangan acara Taman Bacaan Masyarakat di Solo pada tahun 2010, Bang Mula sudah terlihat sakit-sakitan. Akan tetapi, banyak orang yang tidak menyangka Bang Mula dipanggil ke rumah Bapa pada tanggal 16 September 2010, karena komplikasi maag dan darah tinggi. Dunia penerbitan kehilangan seorang tokoh yang dapat dikatakan sebagai "guru" bagi para penerbit. Salah satu pejuang perbukuan Indonesia itu kini telah menemukan ujung dari perjalanan hidupnya. Semoga warisan semangat juangnya tetap tinggal di hati para pencinta buku dan penulis di Indonesia.

Dirangkum dari:
1. ________________. Mula Harahap [OBITUARI]. Dalam http://indonesiabuku.com/?p=6893
2. Kristanto, Purnawan. Bang Mula. Dalam http://www.sabdaspace.org/bang_mula
3. Indonesia-saram. Mengenang Mula Harahap. Dalam http://www.sabdaspace.org/mengenang_mula_harahap
4. Suramang, Amang. Dari 'Si Kuntjung' ke Gunung Mulia.
http://tokohbatak.wordpress.com/2009/06/23/mula-harahap
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar