Jumat, 07 Oktober 2011

Indonesia masuk dalam laporan Oxfam NOVIB sebagai negara yang memiliki masalah besar dalam pencaplokan tanah.


Dokumen organisasi donor internasional asal Belanda tersebut menyitir kasus 11 desa di kecamatan Tayan Hulu, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Selama 15 tahun, mereka berkonflik dengan perusahaan patungan Indonesia-Malaysia PT. Menara Alfa Semesta(MAS).

Perusahaan, didukung restu Bupati, 'meminjam' lahan warga Dayak selama 35 tahun. Sebagai imbal balik, masyarakat dijanjikan akan diberikan rumah layak huni, sekolah, puskesmas dan fasilitas air bersih. Per keluarga kemudian menyerahkan 7,5 hektar tanah dengan pembagian keuntungan 5,5 hektar buat MAS dan 2 hektar untuk keluarga pemilik. 

Janji kosongSesudah 15 tahun berlalu, penelitian Oxfam NOVIB menemukan, janji-janji PT MAS tidak ditepati. Fasilitas imbal balik kebanyakan tidak dibangun, per keluarga ternyata cuma mendapat pengelolaan 1,2 hektar -terlalu sedikit untuk bisa mencukupi kebutuhan hidup- dan belakangan juga diketahui setelah 35 tahun 'dipinjamkan' tanah tersebut nantinya kembali ke negara bukan ke warga adat setempat.

Dengan kata lain masyarakat kehilangan tanah yang berdampak langsung pada ketahanan pangan.

"Kami mendapat 31 ribu Rupiah per hari. Sementara satu ekor ayam harganya 40 ribu Rupiah. Jadi jelas kami kekurangan protein. Sekalipun kami dapat hasil dari perkebunan sawit, nasi tetap saja terlalu mahal bagi kami. Sebelum ada kebun kelapa sawit, kami masih bisa menyekolahkan anak sampai ke universitas, sekarang bisa lulus sekolah dasar saja sudah bagus," ungkap seorang petani dalam laporan Oxfam NOVIB bertitel '

Land and Power' tersebut.

PT. MAS memasok enam persen minyak kelapa sawit ke Sime Darby yang bermarkas di Malaysia. Perusahaan pengelolaan minyak kelapa sawit mega raksasa itu merupakan anggota dari dewan eksekutif RSPO(Roundtable on Sustainable Palm Oil, perundingan minyak kelapa sawit yang berkesinambungan). Karenanya, menurut Oxfam NOVIB, Sime Darby patut memastikan bahwa pasokan MAS juga menghormati prinip-prinsip hak azasi manusia.

Bahan bakar nabatiPerkebunan kelapa sawit tahun-tahun belakangan ekspansi luar biasa di Indonesia menyusul pemberian ijin oleh kementrian pertanian kepada industri minyak kelapa sawit. Perusahaan boleh mengembangkan lahan dari 20 ribu hektar menjadi 100 ribu hektar per perusahaan per propinsi.  

"Peraturan menteri pertanian nomor 26 tahun 2007 itu dikeluarkan segera setelah pemerintah Indonesia mengeluarkan keputusan presiden tentang kebijakan percepatan pembangunan energi terbarukan atau bahan bakar nabati," kata Norman Jiwan, kepala mitigasi Sawit Watch, kepada Radio Nederland.

Kebutuhan minyak sawit untuk energi jauh luar biasa besar ketimbang untuk produk makanan. Pabrik pengelolaan sawit untuk produksi non energi supaya untung, setidaknya membutuhkan perkebunan 6000 hektar. Sedangkan industri bahan bakar nabati membutuhkan lahan sedikitnya 50 ribu hektar.

Parahnya lagi, menurut Sawit Watch, organisasi penyumbang data dalam laporan Oxfam NOVIB itu, Indonesia sekalipun dikenal sebagai salah satu produsen minyak sawit terbesar di dunia, tetap tidak untung banyak. Industri Sawit Indonesia hampir 70 persen masih dikuasai asing.

Penguasaan energiLaporan '

Land and Power' dikeluarkan organisasi kerjasama pembangunan Belanda Oxfam NOVIB dengan maksud membuka mata dunia bahwa investasi internasional tak serta merta membawa perbaikan hidup. Dalam beberapa kasus, bahkan, atas nama penyelamatan iklim akibat buangan CO2, justru mencelakakan masyarakat adat akibat perluasan lahan kelapa sawit demi bahan bakar nabati.

Norman Jiwan menunjuk bahwa masalah sebenarnya ada pada si

Power. Bahan bakar fosil yang selalu dikuasai korporat, suatu saat akan habis. Karena itu korporat telah melangkah ke penguasaan sumber energi baru yaitu bahan bakar nabati.

"Siapa yang harus menguasai energi itu? Apakah Toyota, Honda, Yamaha dan lain-lain, dengan skenario penguasaan teknologi mereka hari ini? Dengan keuntungan bisnis sebesar-besarnya? Atau redefinisi hak atas energi dan keberlanjutan sumber daya alam, dalam bentuk keseimbangan yang memperhatikan aspek hak dan penghidupan masyarakat," tukas kepala mitigasi Sawit Watch itu kepada Radio Nederland.


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar