Selasa, 04 Oktober 2011

DATANGLAH, MESKI KAU BERDUSTA

Anda yang tinggal di ibukota ini, mungkin juga pernah menjumpai dia. Berjalan dengan langkah hati-hati bagaikan orang yang baru saja sembuh setelah patah kaki, dengan kepala tertunduk. Wajahnya yang mirip Pandito Dorna dari dunia pewayangan, bukan mustahil bisa membangkitkan rasa sebal ketika kita melihatnya. Bicaranya pun sulit dipahami; sama sulitnya seperti mencoba mengerti orang yang berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti.

Sifatnya tidak bisa dibanggakan. Ia sangat cinta uang dan sekalipun berperawakan pendek, ia selalu membanggakan diri memunyai 3 orang istri! Malah (katanya), masih banyak lagi yang mengejar dia pada usia yang lebih setengah abad ini, kendati dia buta huruf.

Namanya singkat saja: Pak Amat.

Telah lebih 2 tahun aku tak jumpa dengannya, sejak berhenti bekerja di kantor swasta tempat ia menjadi pesuruh. Kami berjumpa di jalan ketika ia memanggil-manggil namaku. Ia merengek-rengek agar diberikan pekerjaan apa saja karena ia sekarang menganggur. Tidak dijelaskannya apakah dia diberhentikan atau minta berhenti. Karena aku memang butuh bantuannya untuk mengurusi beberapa surat pribadi, kusuruh dia datang ke rumah.

Ternyata, sifat jeleknya yang dulu sudah terkenal di kantor, muncul lagi. Ia punya dua kebiasaan yang sangat kubenci: pembohong dan cinta uang.

Begitu dia kembali menyelesaikan tugas mengantar surat, dia sudah berbohong. Kebohongannya sama juga seperti yang dulu selalu dilakukannya di kantor apabila diberi "tugas luar". Dia mengatakan bahwa uang kembalian bis dicopet orang. Padahal karena tak ada uang kecil, sewaktu pergi terpaksa kuserahkan Rp. 1.000,00 [pada tahun ketika kesaksian ini ditulis, Rp 1.000,00 merupakan jumlah uang yang cukup besar, Red.].

Dengan muka masam, kusuruh dia pulang. Kuberikan sekadar honor, dan kutambahkan, "Jangan datang-datang lagi, Pak Amat. Saya sering tidak di rumah." Ia tak berani menatap mataku ketika pamit.

Dan sekarang, baru seminggu kemudian, ia sudah muncul lagi. Begitu melangkah masuk ke dalam rumahku, dari mulutnya sudah terlontar kebohongan lagi. Juga kebohongan yang sama, bahwa anaknya tadi malam mati.

Aku tidak menanggapi berita ini karena dulu pun saat masih di kantor, setiap 2 atau 3 bulan ada saja yang dikabarkannya mati. Nenek, kakek, keponakan, istri, anak, cucu, dan entah apalagi -- sekadar mengharapkan "uang sumbangan". Rasa sebalku semakin menjadi.

"Pulang saja, Pak Amat. Saya tidak punya sesuatu buat Pak Amat kerjakan, dan kebetulan saya sedang tidak punya uang."

"Tidak apa-apa. Biar saya cuci-cuci saja. Soal uang, tidak usah sebut; saya mengerti."

"Omong kosong!" cetusku dalam hati.

Selama beberapa jam berikutnya, Pak Amat sibuk membersihkan seluruh rumah, termasuk piring-piring dan pakaian. Aku pasif saja, namun hatiku cukup gelisah: berapa yang nanti diharapkannya dari padaku? Padahal uangku benar-benar tinggal sedikit.

Akhirnya, ia pun pamit, dan aku tersipu-sipu cuma bisa menyodorkan uang Rp 150,00 padanya. Air mukanya tidak berubah ketika ia melangkah ke jalan.

Aku lega. Pikirku, mungkin sekarang dia akan jera datang lagi. Aku pun bersiap-siap pergi untuk menagih hutang teman yang sudah dijanjikan akan dibayarnya.

Uang yang tinggal Rp 200,00. Pas untuk mencapai tujuanku dengan naik bis, disambung naik becak nanti.

Bis sedang melaju di jalan, ketika kulihat Pak Amat berjalan terseok-seok. Hatiku tersentuh sampai ke relung yang paling dalam.

"Ya Tuhan," pikirku tersengat penyesalan, "Mengapa tidak digunakannya uang pemberianku tadi untuk naik bis? Haruskah ia berjalan kaki di tengah hujan ini sampai ke tempat tinggalnya? Begitu berharganya nilai Rp 150,00 itu? Kalau begitu, wajiblah aku menolong sesamaku yang keadaannya lebih menderita daripada aku sendiri, sekalipun ia pembohong atau penipu. Mungkin cuma aku inilah yang masih mau menerima kedatangannya."

Ya, datanglah Pak Amat, karena demi Yesus, aku takkan menyuruhmu pulang lagi.

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku: Untaian Mutiara
Penulis: Betsy T.
Penerbit: Gandum Mas, Malang
Halaman: 20 -- 22
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar